PENDIDIKAN
PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
TEMA :
KONFLIK
PERBATASAN & KETAHANAN NASIONAL
JUDUL
:
KETAHANAN
NASIONAL INDONESIA DALAM SENGKETA
PERBATASAN INDONESIA – SINGAPURA
1.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, yang
dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia
serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia disebut
juga sebagai Nusantara. Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada
tahun 2006, Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia.
Indonesia berbatasan dengan Malaysia di Pulau Kalimantan, dengan Papua
Nugini di Pulau Papua dan dengan Timor Leste di Pulau Timor.
Negara tetangga lainnya adalah Singapura, Filipina, Australia, dan wilayah
persatuan Kepulauan Andaman dan Nikobar di India.
Perbatasan antar Negara tetangga sering kali menjadi
konflik yang besar bagi suatu negara. Hal ini terjadi karena hukum dan
ketentuan – ketentuan lain yang mengatur tentang wilayah suatu negara yang
terus mengalami pembaharuan, sehingga tidak adanya satu acuan yang pasti yang
mengatur tentang perbatasan tersebut. Selain itu banyaknya pulau yang dimiliki
oleh Negara Indonesia membuat sulitnya koneksi ke pulau yang jauh dari pusat
pemerintahan. Pulau – pulau yang berada dekat dengan negara tetangga akan lebih
mudah dan lebih diperhatikan oleh negara tetangga tersebut,
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka dapat diambil
beberapa rumusan masalah yaitu :
1.2.1
Bagaimana kronogis konflik perbatasan
yang terjadi di Indonesia – Singapura?
1.2.2
Bagaimana perkembangan dari konflik
perbatasan Indonesia – Singapura?
1.2.3
Apa akar masalah dari konflik perbatasan
Indonesia - Singapura?
1.2.4
Apa solusi dari konflik perbatasan
Indoensia – Singapura ?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah diatas, maka dapat diambil
beberapa tujuan dari pembuatan makalah ini, yaitu :
1.3.1
Mengetahui kronologis konflik perbatasan
yang terjadai di Indonesia – Singapura
1.3.2
Mengetahui perkembanga dari konflik
perbatasan Indonesia – Singapura
1.3.3
Mengetahui akar masalah dari konflik
perbatasan Indoneisa – Singapura
1.3.4
Mengetahui solusi dari konflik
perbatasan Indonesia – Singapura
2.
KRONOLOGIS
DAN PERKEMBANGAN KONFLIK
2.1 Kronologis Sengketa Perbatasan
Indonesia – Singapura
Saat ini perbatasan laut antara wilayah Indonesia dengan
Singapura sedang diperdebatkan, terkait dengan klaim daratan hasil reklamasi
yang dibuat oleh Singapura sebagai titik dasar penetapan batas wilayah laut
antara kedua negara. Pemerintah Indonesia tak mau mengakui wilayah darat hasil
reklamasi wilayah laut Singapura
Namun, di kedua
sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat
area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan
wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada
sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah
berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di
wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat
wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum
mempunyai perjanjian batas laut.
2.2 Perkembangan Konflik Perbatasan
Indonesia – Singapura
Hubungan dengan tetangga dekat bisa jadi lebih rawan konflik
daripada hubungan dengan negara yang jauh. Hal ini tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan
Singapura. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Singapura adalah dua
negara tetangga paling dekat dan saling membutuhkan. Kedua negara memiliki
hubungan harmonis, terutama pada era Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran
mantan presiden Suharto yang di hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas
kepribadian yang diakui memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak
dalam hubungan diplomatik. Seiring dengan mundurnya kedua mantan kepala
pemerintahan senior itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi
kedua negara, hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik RI-Singapura,
sekalipun masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami beberapa gangguan yang
belum teratasi.
Konflik
antara Indonesia dengan Singapura, terutama setelah reformasi,
bukanlah yang pertama kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan
dalam hubungan diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan,
seperti masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan
mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden Abdurrahman
Wahid, menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi untuk pengembalian
para penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan terakhir sengketa pasir.
Kasus
konflik pasir ini ironis, bahwa sebuah negara sangat kecil dapat mengancam
keselamatan wilayah sebuah negara besar “hanya” dengan cara membeli seonggok
demi seonggok sarana pembatas wilayah. Singapura menolak larangan tersebut
karena, seperti yang dikatakan Menlu George Yeo, Indonesia tidak
memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir. Hal ini sangat merugikan bangsa
kita Indonesia.
Sengketa
pasir berawal dari dilarangnya ekspor pasir Indonesia ke semua
negara, termasuk ke Singapura. Larangan ekspor pasir yang dikeluarkan
pemerintah ini sangat tepat, mengingat kerugian yang ditimbulkannya sangat
mengancam keselamatan lingkungan dan eksistensi negara kita karena berubahnya
peta wilayah RI. Pengerukan pasir yang terus menerus dapat mengakibatkan
berbagai kerawanan lingkungan yang mengancam keselamatan
penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai.
Selama
ini Singapura adalah salah satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia.
Ini dilakukan sejalan dengan lajunya tingkat industri konstruksinya sehubungan
dengan proyek reklamasi pantainya. Seperti yang dinyatakan oleh Inspektur
Jendral TNI AL, Mayjend Mar Nono Sampono, akibat reklamasi besar-besaran
tersebut, perbatasan kedua negara mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia.
Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota itu
bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan
Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka luas wilayah
Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas
daripada yang dimilikinya saat ini.
Tergerusnya
wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah
daratan Indonesia. Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang
berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi
kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom negara
kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia.
Penjualan
pasir ini seharusnya sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan
dikeluarkannya berbagai peraturan yang mencegah habisnya pasir Indonesia.
Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini belum dilakukan karena bisnis pasir,
baik legal maupun ilegal, melibatkan beberapa pihak yang mendapatkan
keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan di pulau-pulau
terluar Indonesia menyebabkan pihak-pihak tersebut secara sadar
maupun tidak, menjual negara kepada pihak asing. Maka RUU Perbatasan Negara
menjadi kebutuhan yang urgensinya sangat tinggi untuk segera disahkan, bukan
saja untuk mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi juga dengan
negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan dengan Indonesia.
Keputusan Indonesia menghentikan pejualan pasir Singapura ini merupakan salah
satu cara untuk menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani
perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh Singapura.
Faktor
lain, seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo
Alui Joelianto, yang mendorong Indonesia menghentkan ekspor pasir ke Singapura
adalah masalah ekstradisi. Telah diketahui bahwa selama ini Singapura selalu
menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan
oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura
merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena
berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak
asing.
Menghadapi
tuntutan ini, Singapura menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk
menyelesaiakan sendiri urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia
menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan
simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara ini
memetik keuntungan yang besar dengan masuknya “uang haram” yang dilarikan oleh
para koruptor itu. Memang benar bahwa korupsi adalah masalah internal
Indonesia. Namun tanpa bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia tidak mampu
menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdksi
hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura untuk bekerjasama dengan Indonesia
merupakan ganjalan yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua
negara.
Menteri
Pertahanan (Menhan) menyatakan bahwa Indonesia tetap beranggapan bahwa
penetapan batas wilayah laut akan ditarik dari base point (titik dasar)
masing-masing negara. Pada rapat kerja dengan Komisi I DPR guna membahas
ratifikasi perjanjian batas wilayah laut Indonesia-Singapura, Purnomo
menjelaskan, Pulau Nipah di dekat Batam akan menjadi base point bagi Indonesia
untuk menetapkan batas wilayah laut dengan Singapura. Dari pulau tersebut, akan
ditarik garis pangkal ke Pulau Karimun Kecil. Penghitungan batas wilayah kedua
negara ini tidak membenarkan hasil reklamasi yang dilakukan Singapura.
Indonesia menggunakan referensi titik dasar Indonesia di Pulau Nipah dan garis
pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun
kecil.
Pada
kesempatan sama, Menteri Luar Negeri Marty Legawa mengungkapkan bahwa belum
seluruhnya titik-titik perbatasan laut Indonesia-Singapura disepakati.
Dijelaskannya, titik perbatasan laut yang belum disepakati antara lain di
wilayah timur Singapura dengan Pulau Batam, karena adanya sengketa kepemilikan
Pulau Batu Puteh antara Singapura dengan Malaysia. Proses perundingan segmen
timur belum dimulai karena Singapura ada sengketa wilayah dengan Malaysia yang
berdampak ke Indonesia.
Namun
demikian Marty memegaskan bahwa perundingan untuk mencapai kesepakatan sudah
mulai digelar. Mantan juru bicara Kementrian Luar Negeri itu menambahkan,
kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonmo pekan lalu ke Singapura, juga
dalam rangka membahas soal itu.
Permasalahan muncul setelah
Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga
terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang
cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa
pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia
– Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa
mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya
berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak
dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi
kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang
mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau
Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah
berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama
delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan
Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan
konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum
disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara
3.
AKAR
MASALAH DAN SOLUSI
3.1 Akar
Masalah Perbatasan Indonesia – Singapura
Salah satu persoalan yang paling
mendasar dan krusial yang memicu konflik antar negara adalah masalah
perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai persoalan dengan perbatasan,
terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan
negara-negara tetangga. Bukan hanya
dengan Malaysia Indonesia bersengketa mengenai perbatasan dan klaim pulau seperti
yang kebanyakan diketahui oleh kalangan masyarakat, namun dengan Singapura pun
Indonesia mempunyai masalah dalam perbatasan negara baik maritim maupun pasir.
Faktor-faktor yang dapat menyulut
persengketaan antar negara dimaksud antara lain:
a) Ketidaksepahaman
mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan
melalui mekanisme perundingan
b) Peningkatan
persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada
di kawa-san ini, maupun dari luar
kawasan.
c) Eskalasi aksi
terorisme lintas negara,
dan gerakan separatis
bersenjata yang dapat
mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
Masalah yang timbul dalam penetapan
batas wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah reklamasi pantai yang
selalu dilakukan Singapura sejak melepaskan diri dari Federasi Malaysia untuk
memperluas wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya adalah 580 km2, dan
pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal itu menandakan luas
wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2. Luas Selat
Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang sudah menjadi
ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan reklamasi pantai yang
dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah batas kedua negara yang sudah
disetujui pada tahun 1973.
Daratan Singapura, menjadi maju 12
km dari original base line perjanjian
perbatasan sebelumnya. Pihak Indonesia juga khawatir dengan majunya daratan
Singapura, dikhawatirkan penetapan batas wilayah di Selat Singapura juga akan
berubah. Sebenarnya, jika kita merujuk pada Pasal 6 ayat 8 UNCLOS 1982 pihak
Indonesia tidak perlu khawatir.
Pasir yang diambil kebanyakan
berasal dari pulau-pulau di Kepulauan Riau. Pelarangan ekspor pasir dari Riau
ke Singapura sebenarnya telah keluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun
2002, setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2/2002. Pelarangan itu
tidak bertahan lama, karena penambangan pasir di Riau kembali dibuka setelah
DPR membentuk Tim Pengawasan Pasir Laut. Maret 2003, penambangan pasir ini
kembali ditutup oleh pemerintah setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan,
Rini Suwandi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 117/MPP/Kep/II/2003
Revisi dari Traktat London ini
membuat adanya perbatasan baru antara Singapura yang saat
itu masih tergabung dalam wilayah Malaysia dengan Indonesia. Tidak hanya
memunculkan perbatasan baru bagi Singapura dengan Indonesia, namun juga
merupakan awal terpisahnya Tanah Melayu dan Indonesia secara politik. Setelah
adanya Traktat London atau Treaty of Commerce and Exchange Between Great
Britain and Netherlands, membuat Singapura menjadi semakin maju, banyak
kapal-kapal internasional dan domestik lebih memilih Singapura daripada Batavia
karena banyak kebutuhan yang dapat ditemukan di Singapura, ketimbang Batavia.
Semenjak itu Selat Singapura menjadi jalur lalu lintas perdagangan laut antara
India dengan Cina atau Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Timur.
Masalah perbatasan kemudian menjadi
semakin runyam setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaysia tahun
1965. Pangkal masalahnya adalah lebar Selat Singapura yang tidak mencapai 24
mil sebagai persyaratan dari Konvensi Hukum Laut PBB. Konvensi Hukum Laut PBB
ini berisi batas wilayah teritorial laut suatu negara ditarik 12 mil laut yang
ditarik dari pangkal pulau terdepan suatu negara. Hal ini merupakan gagasan
yang dirancang Panitia Pringadi atas perintah Perdana Menteri Indonesia Ali
Sastroamijoyo yang melahirkan Deklarasi Djuanda 1957. Beberapa masalah kemudian
menjadi pengganjal untuk menetapkan daerah perbatasan Indonesia-Singapura.
Salah satu masalah besar itu adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura
untuk memperluas wilayahnya.
Di masa-masa setelah kemerdekaan
Indonesia tahun 1950, pemerintah saat itu belum memprioritaskan untuk membenahi
masalah perbatasan dengan Malaya. Ada tigal hal yang menyebabkan hal itu bisa
terjadi. Pertama, pemerintah lebih berkonsentrasi mengurus masalah dalam negeri
daripada luar negeri. Kedua, masalah New Guinea (Irian Barat) yang masih masuk
dalam cengkraman Belanda, dan dibahas setelah KMB. Ketiga, pemerintahan Malaya
juga menghadapi masalah dalam negeri dalam hubungannya dengan Inggris yang
menjajah mereka.
Masalah perbatasan Indonesia mulai
mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14
Maret 1957). Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu masih diatur dengan
undang-undang ‘warisan’ Belanda, Territoriale Zee en Maritieme Kringen
Ordonnantie 1939. Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1939 ini mengatur bahwa
jarak teritorial bagi tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis
pantai masing-masing pulau. Peraturan itu membuat banyak wilayah laut bebas di
antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Gagasan untuk mengubah Ordonantie
1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut
warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Indonesia.
Setelah itu Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo membentuk sebuah tim yang
ditugaskan untuk membuat Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Perairan
Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim yang berdiri berdasarkan Keputusan
Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel Laut R. M. S.
Pirngadi.
Panitia Pirngadi, setelah hampir
satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia
dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan
Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan di garis territorial yang sebelumnya
3 mil menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet
Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda
masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan
menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk
mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran
bahwa RUU tersebut harus segera diratifikasi, karena banyak kapal Belanda yang
melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea. Gagasan yang digunakan Mr.
Mochtar Kusumaatmaja adalah menggunakan konsep asas negara kepulauan atau asas
archipelago. Gagasan tersebut diterima pada saat sidang parlemen pada tanggal
13 Desember 1957. Kemudian pemerintah mengeluarkan pengumuman sebagai berikut:
“segala perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian
yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan
demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah
kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di
perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak
bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia ”.
Pemisahan antara Singapura dan
Malaysia, membuat Indonesia menghadapi masalah baru dalam hal perbatasan
wilayah. Sebelumnya, masalah ini dapat diselesaikan secara bilateral, namun
sekarang menjadi sulit karena Singapura dan Malaysia tidak ada di dalam satu
kepemimpinan lagi. Selain itu, Singapura dan Malaysia juga mempunyai perbedaan
dalam sikap politiknya terkait pengaturan batas wilayah dengan Indonesia. Usaha
mengatasi permasalahan wilayah perbatasan dengan wilayah negara tetangga,
khususnya Singapura dan Malaysia, mulai dijalankan di masa pemerintahan
Presiden Soeharto. Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri saat itu ditugaskan
untuk melakukan pembicaraan dan kesepakatan dengan Malaysia pada 1969. Masalah
yang menjadi pembahasan saat itu adalah Garis Batas Landas Kontinen di Selat
Malaka dan Laut Cina Selatan. Penyelesaian batas laut itu ditetapkan dengan
mencapai titik tengah antara garis batas terluar pada saat air laut surut di
masing-masing pantai. Cara itu kemudian disetujui oleh kedua belah pihak,
dengan menambahkan beberapa cara lain pada 1970, dan mengikutsertakan Thailand
dalam persetujuan ini di tahun 1971.
3.2 Solusi
Masalah Perbatasan Indonesia – Singapura
Untuk
mengamankan kebijakan pemerintah dalam masalah wilayah perbatasan, pemerintah
mengeluarkan UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang Landasan Kontinen
Indonesia, semua kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia
merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu, daerah perbatasan
juga akan mulai diberdayakan, seperti Pulau Batam yang berbatasan langsung
dengan Singapura.
Selat
Singapura yang lebarnya tidak terlalu luas, menjadi masalah tersendiri bagi UU
nomor 1 tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil
disekitarnya dalam menarik garis batas perlu ketelitian agar tidak mendapatkan
protes dari pemerintah Singapura. Beberapa perundingan dilakukan untuk
menyelesaikan masalah ini, kesepakatan pun terjadi pada Mei 1973, dengan
ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan garis
awal perbatasan dan karena jarak Selat Singapura yang sempit, maka akhirnya
diambil keputusan untuk mengambil batas kedua negara dari wilayah atau pulau
terdepan masing-masing negara. Dengan melihat dari Wawasan Nusantara yang sudah
menjadi bagian dari ketetapan UNCLOS, maka beberapa langkah kemudian dilakukan
pemerintah Indonesia untuk menghadapi persoalan perbatasan dengan Singapura.
Namun di sisi lain, ketetapan UNCLOS ini membuat beberapa pulau-pulau kecil
yang ada di garis luar batas wilayah lautan yang berpotensi menimbulkan
konflik.
Disetujuinya
Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia – Singapura di Bagian Barat Selat Singapura.
Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi yang
dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas
laut antara kedua negara ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang
perjanjian ini sudah dilakukan sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas
wilayah Indonesia-Singapura di bagian barat Selat Singapura, antara perairan
Tuas dan Nipah. Sementara untuk wilayah tengah dan timur, masih dalam tahap
penyelesaian, karena memerlukan kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian
batas laut ini, diharapkan dapat mempertegas posisi Pulau Nipah sebagai
titik dasar yang digunakan dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia
dengan Singapura.
Penetapan
batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ini memiliki beberapa keuntungan.
Selain adanya kejelasan batas wilayah kedua negara tersebut, keuntungan lain
adalah, memudahkan upaya pengawasan dan penegakan kedaulatan negara di wilayah
tersebut, memudahkan upaya Indonesia sebagai negara pantai untukmenjamin
keselamatan jalur navigasi di Selat Singapura, dan meningkatkan hubungan baik
kedua negara. Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak
mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973
sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “pulau buatan,
instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut teritorialnya
sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut teritorial,
Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”
4. PENUTUP
Kronogis konflik
perbatasan yang terjadi di Indonesia – Singapura bermulai dari reklamasi wilayah laut Singapura
yang membuat daratan Singapura menjadi lebih luas dan laut perbatasan Indonesia
dan Singapura menjadi sempit. Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan
daratan negara kota itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan
wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka
luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan
lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini.
Reklamasi
pantai yang selalu dilakukan Singapura sejak melepaskan diri dari Federasi
Malaysia untuk memperluas wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya
adalah 580 km2, dan pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal
itu menandakan luas wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2.
Luas Selat Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang
sudah menjadi ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan reklamasi
pantai yang dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah batas kedua negara
yang sudah disetujui pada tahun 1973.
Beberapa
solusi telah dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia atas sengketa perbatasan
Indoensia – Singapura diantaranya mengeluarkan
UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang Landasan Kontinen Indonesia, semua
kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik
pemerintah Indonesia. Disetujuinya Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia –
Singapura di Bagian Barat Selat Singapura juga merupakan solusi yang diupayakan
pemerintah Indonesia. Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi yang dilakukan
pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas laut
antara kedua negara ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang perjanjian
ini sudah dilakukan sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas wilayah
Indonesia – Singapura di bagian barat Selat Singapura, antara perairan Tuas dan
Nipah.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi :
http://indomaritimeinstitute.org/?p=1341
Tidak ada komentar:
Posting Komentar