1. KASTA
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: वर्ण; varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti "memilih (sebuah kelompok)". Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu.
Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.
Namun yang dirasakan dalam tradisi Hindu Bali bukan sistem warna, namun sistem kasta yang merupakan pelapis sosial yang bersifat turun temurun diwariskan oleh nenek moyang dari generasi kegenerasi. Sistem kasta di Bali merupakan akulturasi budaya Hindu yang masuk sejak zaman kerajaan Majapahit dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat Bali yang biasanya terlihat dari nama yang diawali dengan sebutan atau gelar tingkat kastanya.
Kasta itu dibuat dan dikemas sesuai dengan garis keturunan Patrinial, diantaranya:
a. Kasta brahmana merupakan kasta yang memiliki kedudukan tertinggi, dalam generasi kasta brahmana ini biasanya akan selalu ada yang menjalankan kependetaan. Dalam pelaksanaanya seseorang yang berasal dari kasta brahmana yang telah menjadi seorang pendeta akan memiliki sisya, dimana sisya-sisya inilah yang akan memperhatikan kesejahteraan dari pendeta tersebut, dan dalam pelaksanaan upacara-upacara keagamaan yang dilaksanakan oleh anggota sisya tersebut dan bersifat upacara besar akan selalu menghadirkan pendeta tersebut untuk muput upacara tersebut. Dari segi nama seseorang akan diketahui bahwa dia berasal dari golongan kasta brahmana, biasanya seseorang yang berasal dari keturunan kasta brahmana ini akan memiliki nama depan “Ida Bagus untuk anak laki-laki, Ida Ayu untuk anak perempuan, ataupun hanya menggunakan kata Ida untuk anak laki-laki maupun perempuan”. Dan untuk sebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Griya".
b. Kasta Ksatriya merupakan kasta yang memiliki posisi yang sangat penting dalam pemerintahan dan politik tradisional di Bali, karena orang-orang yang berasal dari kasta ini merupakan keturuna dari Raja-raja di Bali pada zaman kerajaan. Namun sampai saat ini kekuatan hegemoninya masih cukup kuat, sehingga terkadang beberapa desa masih merasa abdi dari keturunan Raja tersebut. Dari segi nama yang berasal dari keturunan kasta ksariya ini akan menggunakan nama “Anak Agung, Dewa Agung, Tjokorda, dan ada juga yang menggunakan nama Dewa”. Dan untuk nama tempat tinggalnya disebut dengan "Puri".
c. Kasta Waisya merupakanmasyarakat yang berasal dari keturunan abdi-abdi kepercayaan Raja, prajurit utama kerajaan, namun terkadang ada juga yang merupakan keluarga Puri yang ditempatkan diwilayah lain dan diposisikan agak rendah dari keturunan asalnya karena melakukan kesalahan sehingga statusnya diturunkan. Dari segi nama kasta ini menggunakan nama seperti I Gusti Agung, I Gusti Bagus, I Gusti Ayu, ataupun I Gusti. Dimana untuk penyebutan tempat tinggalnya disebut dengan "Jero".
d. Kasta Sudra (Jaba) merupakan kasta yang mayoritas di Bali, namun memiliki kedudukan sosial yang paling rendah, dimana masyarakat yang berasal dari kasta ini harus berbicara dengan Sor Singgih Basa dengan orang yang berasal dari kasta yang lebih tinggi atau yang disebut dengan Tri Wangsa - Brahmana, Ksatria dan Waisya. Sampai saat ini masyarakat yang berasal dari kasta ini masih menjadi parekan dari golongan Tri Wangsa. Dari segi nama warga masyarakat dari kasta Sudra akan menggunakan nama seperti berikut : Wayan, Made, Nyoman dan Ketut. Dan dalam penamaan rumah dari kasta ini disebut dengan "umah".
2. AGAMA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Sedangkan dari bahasa Sansekerta agama berarti tradisi. Secara sederhana agama dapat diartikan sebagai suatu lembaga atau institusi penting yang mengatur kehidupan rohani manusia. Untuk itu terhadap apa yang dikenal sebagai agama-agamaitu perlu dicari titik persamaan dan titik perbedaannya.
Manusia mempunyai kemampuan yang terbatas,kesadaran dan pengauan akan ketebatasannya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misalnya Tuhan, Dewa, God, Syang-ti, Kami-Sama, dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha Kuasa, Ingkang Murbeng Dumani, De Weldadige, dan lain-lain.
Keyakinan ini membawa manusia untuk mencari kedekatan diri kepada Tuhan dengan cara menghambakan diri, yaitu :
- Menerima segala kepastian yang menimpa diri dan sekitarnya dan yakin berasal dari Tuhan
- Menaati segenap ketetapan, aturan, hukum dan lain-lain yang diyakini berasal dari Tuhan.
Dengan demikian diperoleh informasi bahwa agama adalah penghambaan manusia kepada Tuhannya.
3. PERNIKAHAN
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikanikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahanmemiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Pengguanan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Dewasa ini banyak terjadi upacara pernikahan beda kasta khususnya bagi masyarakat Bali bahkan beda agama. Masyarakat cenderung menghindari pernikahan seperti ini. Namun dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tepatnya pasal 2 ayat 1 menyatakan Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dam kepercayaannya itu. Selain itu pada pasal 8 juga ditegaskan larangan perkawinan, yaitu:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah ataupun keatas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan paman/bibi susuan
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
4. PERNIKAHAN BEDA KASTA
Kasta juga sangat sering menjadi pro dan kontra, terutama dalam masalah pernikahan. Pada jaman dulu, masyarakat Bali tidak diperbolehkan menikah dengan kasta yang berbeda, layaknya pernikahan beda agama dalam Islam. Seiring perkembangan jaman, aturan tersebut seharusnya sudah tidak berlaku lagi. Namun sebagian penduduk Bali masih ada yang mempermasalahkan pernikahan beda kasta.
Pernikahan dengan kasta yg berbeda dibolehkan dengan syarat kasta yang perempuan harus mengikuti yg laki-laki. Jika kasta perempuan dari kasta yg tinggi, menikah dng kasta yg lebih rendah, maka kasta si perempuan akan turun mengikuti suaminya. Begitu juga sebaliknya, Karena di Bali laki-lakilah yg menjadi ahli waris dari generasi sebelumnya.
Pernikahan beda kasta sendiri ada dua macam, yaitu :
a. Kasta istri lebih rendah dari kasta suami. Pernikahan beda kasta ini-lah yang sudah seringterjadi di Bali. Pernikahan semacam ini biasanya memberikan kebanggan tersendiri bagi keluarga perempuan, karena putri mereka berhasil mendapatkan pria dari kasta yang lebih tinggi. Dan secara otomatis kasta sang istri juga akan naik mengikuti kasta suami. Tetapi, sang istri harus siap mendapatkan perlakuan yang tidak sejajar oleh keluarga suami. Saat upacara pernikahan, biasanya batenan untuk mempelai wanita diletakan terpisah, atau dibawah. Bahkan dibeberapa daerah, sang istri harus rela melayani para ipar dan keluarga suami yang memiliki kasta lebih tinggi. Walaupun zaman sekarang hal tersebut sudah jarang dilakukan, tapi masih ada beberapa orang yang masih kental kasta-nya menegakan prinsip tersebut demi menjaga kedudukan kasta-nya.
b. Kasta istri tinggi dari kasta suami. Pernikahan beda kasta seperti ini sangat dihindari oleh penduduk Bali. Karena pihak perempuan biasanya tidak akan mengijinkan putri mereka menikah dengan lelaki yang memiliki kasta lebih rendah. Maka dari itu, biasanya pernikahan ini terjadi secara sembunyi-sembunyi atau biasa disebut sebagai "ngemaling" atau kawin lari sebagai alternatifnya. Kemudian, perempuan yang menikahi laki-laki yang berkasta lebih rendah akan mengalami turun kasta mengikuti kasta suaminya, yang disebut sebagai "nyerod". Menurut kabar, sebagian besar penduduk Bali lebih menyukai dan lebih dapat menerima laki-laki yang bukan orang Bali sebagai menantu, dari pada menikah dengan laki-laki berkasta lebih rendah, dan mengalami penurunan kasta.
5. PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Pernikahan beda agama sangat dihindari bagi semua umat beragama khususnya di Indonesia. Yang mana ketika pasangan yang beda agama menikah maka sering kali terjadi konflik. Masalah akan lebih kompleks ketika pasangan ini mempunyai anak, anak tersebut akan terombang-ambing status keagamaannya. Walaupun Indonesia menganut sistem patrilinear namun sering kali seduanya bersikukuh tidak mau melepaskan kepercayaannya. Namun pernikahan ini bisa saja dilaksanakan dan akan sah jika mengikuti Undang-Undang Pernikahan.
Perkawinan adalah sah secara hukum apabila memenuhi kedua syaratnya, baik syarat materiil maupun formil. Yang dimaksud syarat materiil dari sebuah perkawinan dalam pasal ini adalah bahwa perkawinan yang akan dilakukan sah menurut agama masing-masing pihak. Apabila pasangan yang akan menikah dilakukan oleh pasangan yang berbeda agama, maka kembali melihat pada hukum agama masing-masing pihak.Berikut adalahpemahaman tentang pernikahan beda agama pada masing-masing ajaran agama di Indonesia:
1. Agama Islam
Dalam ajaran agama Islam, terdapat dua pandangan mengenai hal ini. Pandangan yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Tetapi hal ini hanya dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam, sementara pihak perempuan beragama non-islam (Al Maidah(5):5). Apabila kondisinya sebaliknya, maka perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al Baqarah(2):221). Pada pandangan yang lain lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan (Al-Baqarah [2]:221).
2. Agama Kristen
Dalam agama Kristen (Protestan) perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan. Alasan apapun yang mendasarinya, dalam agama ini perkawinan beda agama dilarang. (I Korintus 6 : 14-18).
3. Agama Katolik
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
4. Agama Buddha
Dalam agama Buddha sebenarnya perkawinan beda agama tidaklah terlalu bermasalah. Hanya saja, memang disarankan untuk satu agama. Hal ini disebabkan pertimbangan kehidupan nantinya dalam perkawinan itu sendiri.
5. Agama Hindu
Dalam agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama. Hal ini terjadi karena sebelum perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan. Apabila salah seorang calon mempelai tidak beragama Hindu, maka dia diwajibkan sebagai penganut agama Hindu, karena kalau calon mempelai yang bukan Hindu tidak disucikan terlebih dahulu dan kemudian dilaksanakan perkawinan (Ketentuan Seloka V89 kitab Manawadharmasastra).
Penjelasan singkat diatas dapat dijadikan pertimbangan, apakah kemudian perkawinan beda agama yang akan dilakukan memenuhi persyaratan materiilnya (sesuai agama masing-masing pihak).Selanjutnya, hal penting lain yang harus diperhatikan adalah apakah secara formil perkawinan beda agama tersebut telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, sebuah perkawinan wajib di daftarkan (di catat) di instansi yang telah ditentukan (KUA bagi pasangan beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama Non-Islam). Dalam hal ini setiap pasangan yang akan mencatatkan perkawinannya wajib memilih salah satu instansi ini.
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menjadi dasar di Indonesia bahwa tidak dimungkinkan untuk melakukan perkawinan beda agama. Yang kemudian mungkin dapat dilakukan adalah melakukan perkawinan beda agama di luar negeri kemudian mencatatkan perkawinan tersebut di KUA/Kantor Catatan Sipil.
Perlu diketahui bahwa dengan dicatatkannya perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri tidak serta merta membuat perkawinan itu sah di mata hukum Indonesia karena KUA/KCS hanya lembaga pencatat perkawinan.
6. KESIMPULAN
Pernikahan beda kasta akan sah jika disetujui oleh pihak keluarga masing-masing. Khususnya secara hindu akan terjadi perbedaan upacara dalam bentuk banten untuk individu masing-masing. Sedangkan untuk pernikahan beda agama akan sah jika tidak menyimpang dari hukum agama masing-masing dan Undang Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Referensi :
-,2010, Nikah Beda Kasta , Bali; stitidharma.org/nikah-beda-kasta diakses pada 7 Maret 2013
Wira,I Made, 2011, Sistem Kasta di Bali imadewira.com/sistem-kasta-di-bali/ diakses pada 7 Maret 2013